environment

environment

Gg1

Rabu, 21 April 2010

Aku Ibu Si Autis

Aku Ibu Si Autis
Wednesday, 21 April 2010
http://www.perempuan.com/new/index.php?aid=25433&cid=10
Siang itu aku sibuk membaca buku resep makanan khusus untuk anak autistik yang kusajikan bagi si kecilku yang menderita Autis. Ya, Anakku memang tidak bisa makan sembarang makanan. Salah-salah anakku bisa berputar-putar seperti gasing jika ada zat dalam makananya yang tidak cocok untuk dikonsumsi oleh anakku.

Ditangan sebelah kiri, ada buku Food diary anakku yang aku tulis sejak pertama kali dia kuperkenalkan pada makanan padat berisi apa saja yang dia cocok untuk tubuhnya, reaksi alerginya dan mana saja makanan yang tidak cocok dan menyebabkan dia overwhelmed. kebayang, tidak?

Diusia 4 bulan misalnya, kuberikan jeruk bayi pada anakku. Tak lama kemudian dia muntah dan seluruh tubuhnya seperti dipenuhi ulat bulu. Kemerahan, meradang, pokoknya sangat emnyeramkan.

Pernah aku beri dia tomat. Tapi kemudian, berhari-hari dia diare dan uring-uringan. Kuberi dia susu instant, anakku malah tambah hiperkatif jingkrak-jingkrak, Mengepak-ngepakkan tangannya, persis seperti manusia dengan diesel dibelakang tubuhnya! Dia berputar-putar tanpa merasa lelah dan kemudian mengamuk ketika tidak mengerti bagaimana cara mengendalikan tubuhnya yang tidak mau diam. Sedih rasanya menyaksikan itu, tapi sudahlah. Aku menerima semuanya dengan ikhlas. Ini tantangan untukku sebagai ibunya.

Kulirik sekali lagi food diarynya. Hm, hari ini aku harus mencoba memberinya 5ml putih telur tanpa kuningnya, karena 7 hari yg lalu, dia sudah sedikit kebal ketika kukenalkan pada telur ayam ini.Baru saja hendak memasak, tiba-tiba aku mendengar jeritannya. Kucari anakku, tapi tidak kutemukan.

Aku keruangan tempat menyetrika dan disana kutemukan anakku sedang duduk diatas lemari dengan setrika panas yang baru saja dicabut oleh Baby Sitter-nya. Karena baby sitter kupanggil untuk membantuku memasak, otomatis setrika panas ini masih nempel diatas punggung tangan kirinya! Oh My God!

Dari punggung tangannya mengepul asap. Bau daging panggang begitu segar menempel dihidungku. Kuangkat setrika itu dari tangannya, dan, aduh Tuhan, aku tidak kuat melihatnya. Sebagian dagingnya menempel dibalik gosokan panas itu? AAAAARRRRGGGHHHH! Seketika aku mengutuk diriku sendiri, kenapa lalai padanya!

Sumpah kalau saja ini bukan anakku, aku pasti sudah mati berdiri karena ketakutan. Melihat daging dari punggung tangannya, yang menempel pada setrika itu sudah berubah menjadi putih kekuningan. Dan luka ditangannya juga sudah berubah menjadi putih seperti daging ayam matang.

Aku menjerit sekencang-kencangnya. Kupanggil Baby sitter, lalu dengan kesetanan, ku kebut mobilku ke UGD Rumah Sakit, untuk dirawat secara intensif. Begitu anakku segera tertangani, tiba-tiba aku kehilangan seluruh tenagaku. Aku pingsan dengan sukses.

Aku jadi ingat dengan beberapa kejadian yang hampir sama. Membuatku stress dan pingsan karena si kecilku. Hari itu, lagi-lagi aku sedang mempersiapkan makanannya. Memang, Khusus untuk makanan buah hatiku, aku memutuskan untuk memasak sendiri, karena hanya aku yang tahu berapa gram atau mililiter porsi makanan yang masih bisa ditoleransi oleh tubuh anakku.

Ketika sedang membersihkan kompor yang kecipratan makanan, tiba-tiba, lagi-lagi kudengar bunyi benda jatuh. Brak! Buru-buru kucari sumber suara itu, memastikan bahwa itu bukan anakku. Oh Tuhan! Lagi-lagi anakku, dia baru saja terjatuh dan sepertinya kepalanya terantuk pada pinggir tembok, sehingga kepalanya sobek dan berdarah.

Dia masih berusaha berdiri, meskipun sempoyongan. Dan sambil berjalan, dia menggaruk luka di kepalanya yang bocor. Sementara darahnya terus aja mengucur deras, tepat di belakang otak kecilnya.

Tangannya berlumuran darah. Punggung bajunya pun juga sudah berubah menjadi merah oleh darah. Tapi dia tidak menangis. Dia hanya berjalan sambil menggaruk luka menganga yang ada dibelakang kepalanya.

Aku menjerit sekuat-kuatnya. Kepalanya kututupi dengan lap kompor yang tadi aku pegang. Tapi itupun tak lama karena dalam sekejap, lap kompor itu sudah berubah menjadi merah kehitaman. Aku berteriak panik memanggil pembantu rumah tangga yang bekerja dirumahku, "mbak, minta handuk! Handuk! Cepat!!"

Dan lagi-lagi kukebut mobilku ke rumah sakit, langsung menuju UGD. Disana, dokter yang sudah terbiasa menangani anakku sudah siap menunggu dan segera menjahit kepala anakku.

Dia tidak menangis, hanya minta sesuatu yang bulat untuk dia pegang. Dan setelah dijahit dengan 8 (delapan) jahitan, Hatikupun sedikit lega. Seluruh persendianku serasa dicopot dari tubuhku, dan tanpa sadar lagi-lagi aku pingsan.

Terlalu banyak cerita haru dan berurai airmata yang kami harus jalani. Berkali-kali jantungku harus terpacu 100x lipat manakala anakku dan mungkin ribuan anak Autis lainnya melakukan hal-hal yang tanpa mereka sadari, mencelakai diri mereka sendiri.

Tapi ini bukan keluhan. karena aku selalu sadar, Tuhan itu arsitek Yang Maha Agung. Karyanya tidak pernah gagal. Tidak satupun makluk yang diciptakannya merupakan produk gagal. Jadi ketika Dia menciptakan seorang bayi yang memiliki kekurangan, dia tidak pernah lupa untuk menitipkan kelebihan pada setiap anak. Jadi, buat semua orang tua, berhentilah mengeluhkan kekurangan anak kita. Mari bantu mereka untuk menemukan kelebihan yang mereka punya.

Anakku memang Autistik, tapi aku bangga setiap kali menceritakan bahwa anakku autis. Aku bangga setiap kali menceritakan bagaimana proses menangis berdarah-darah itu, sudah Tuhan rubah menjadi Senyum sukacita dan bangga yang luar biasa.

Selalu ada haru yang menyesakkan dadaku, manakala mendengarkan tangan-tangan mungilnya menari dengan lincah diatas tuts piano. Mendengarnya bercakap-cakap dalam bahasa Inggris seolah yang kudengar ini adalah anak bule asli yang nyasar dalam tubuh putriku.

Namun, dibalik itu, walaupun bangga, selalu tersisa rasa risih dan tidak nyaman, kalau tidak ingin dibilang tersinggung, manakala mendengar orang-orang bercanda dengan menggunakan kata "Autis".

Minggu yang lalu sahabatku menyelenggarakan pesta ultah disebuah resto terkenal, salah satu teman kami, sibuk dengan BlackBerry-nya, sehingga teman yang lain menegur begini, "Tuh, liat tuh, sil. Autis banget kan, dia? Mirip anakmu, kan? Kamu marahin deh, sil! Coba kamu terapi dulu nih, dia. Biar sembuh kaya anak kamu," Dan semua yang ada disitu lalu tertawa terbahak-bahak.

Aku? Cuma bisa senyum kecut karena tidak ingin merusak suasana Pesta Ulang Tahun sahabatku itu. Well, aku tahu mereka hanya bercanda, namun biar bagaimanapun hanya aku yang sudah merasakan dan tahu betul sulitnya membesarkan anak autistik.

Semoga ceritaku ini semakin mencerahkan teman-teman perempuan.com dan semoga berkenan dengan "kampanye" terselubung ini.

Pesan dariku. Betapa kita sering sekali menggunakan kata "autis" untuk konteks cuek, anti sosial, tidak bisa diganggu, asyik dengan dunia sendiri. Tapi pernahkah kita sadar, betapa autisme yang sebenarnya itu seperti apa? Bukankah menggunakan kata autis untuk konteks bercanda adalah penghinaan bagi mereka yang berkutat dengan autisme itu sehari-hari? Termasuk aku, seorang ibu dengan anak autistik. Jadi, marilah kita hilangkan kebiasaan itu. Untuk sekarang dan selamanya.

*seperti diceritakan Sil (bukan nama sebenarnya) kepada perempuan.com
Index >>

Tidak ada komentar: