environment

environment

Gg1

Kamis, 26 Juni 2008

Jumat 27 Juni 2008 10:56
Kisah 2 Anak Berbakat (2)

Jangan pustus asa punya anak autis. Asal penangannya benar, mereka bisa berprestasi.

ARYA: KERETA API DI DALAM LAUT

Jari-jarinya bergerak lincah mencoret-coret kertas dengan pensil. Tak sampai 30 menit, sebuah sketsa
perspektif dengan obyek kereta api (KA) pun selesai ia buat. Ya, Arya Dwi Pramudita (13) memang sangat piawai menggambar, khususnya gambar dengan obyek KA. Sekilas, tak ada yang bakal menduga ia adalah anak dengan autis.

Arya juga sangat terobsesi pada KA. Hampir semua lukisannya berobyek KA, termasuk lukisan cat minyak di atas kanvas. Minat dan bakat melukis Arya mulai terlihat sejak kecil.

Ketika TK, ia hobi menggambar di tembok. "Saya kasih kertas, tapi karena kurang besar, akhirnya ia corat-coret tembok rumah. Makin besar, gambarnya makin matang dan teknis. Dia bisa menggambar perspektif KA dengan baik, padahal enggak pernah diajarin," kata sang ibunda, Dr. Kristina Wardhani (48).

Di usia 2-3 tahun, Arya sudah bisa membikin segitiga lurus tanpa menggunakan penggaris, juga lingkaran bulat yang kedua ujungnya bertemu. Menurut Kristin, umumnya, anak-anak seperti Arya memang tak pernah punya permintaan. "Kalau bukan kita yang aware, jeli melihat potensinya, mereka bakal terlantar."

Suatu ketika, Kristina melihat Arya memencet-mencet keyboard. "Saya pikir, mungkin ia suka keyboard. Saya masukkan dia ke sekolah musik sampai ikut konser segala. Tapi sampai satu titik, ia jenuh dan berhenti. Ya sudah, saya nggak mau memaksa. Kemudian Ia menekuni gambar lagi.

Makanya saya masukkan ia ke kursus." Kristina hanya ingin melatih motorik sekaligus menyalurkan bakat Arya. "Melukis itu kan, bisa melatih motorik dan konsentrasi. Kalau itu sudah tercapai, terserah dia, apakah akan menjadikannya sebagai jalan hidupnya kelak," kata dokter yang meninggalkan tugas kedinasan demi merawat Arya.

Sayangnya, kebanyakan kursus melukis ternyata diperuntukkan bagi anak-anak normal. "Sementara Arya kalau sudah punya satu konsep, enggak bisa dibelokkan. Disuruh gambar ikan, ia menggambar kereta api. Disuruh gambar laut, menggambar laut, tapi di dalamnya tetap ada KA-nya," lanut Kristina tertawa.

Dua tahun lalu, barulah Kristina menemukan guru menggambar yang tepat buat Arya. "Begitu melihat gambar Arya, gurunya langsung bilang ‘Kita langsung pakai cat minyak saja, Bu.

Dia sudah menguasai tekniknya, saya nggak mau buang-buang waktu." Belakangan, setelah masuk SMP, Arya mogok enggak mau melukis di atas kanvas lagi. "Melukis di kanvas butuh waktu, katanya. Kalau sketsa, ia masih terus bikin."
Sekarang, siswa kelas 7 SMP Al Azhar 6 Jakapermai, Bekasi, ini juga mulai tertarik bergaul dengan teman sebayanya. Bagi Kristina, inilah yang ia tunggu-tunggu. "Sebelumnya, ia susah bergaul dengan anak sebaya. Selalu mencari anak yang lebih tua.

Mungkin karena lebih bisa ngemong, ya. Ia tak pernah bisa masuk ke kelompok sebayanya. Pola berbahasa Arya sangat baku, beda dengan bahasa anak ABG. Anak lain suka HP, dia tidak. Lebih ke teknologinya. Yang lain suka game komputer, dia tidak. Tapi, bacaannya majalah CHIP. Kan, enggak nyambung."

Nah, setelah SMP, ternyata ia mulai bisa bercanda dengan teman sebaya. "Bisa mulai pakai kata-kata "lu - gue," mulai menyerap idiom anak-anak sebayanya. Buat saya ini sign positif, karena ini berarti ia tidak terlalu jauh dengan anak sebaya, meski tidak akan sama."

MODIFIKASI TERAPI
Kristina sendiri mulai mendeteksi kelainan Arya ketika Arya berusia 20 bulan. Kecurigaan Kristina muncul begitu mendapati kepandaian bicara Arya lenyap. "Itu muncul setelah Arya dapat vaksin MMR di usia 15 bulan. Mungkin sudah ada kecenderungan kelainan genetis, sel-sel otaknya sangat sensitif terhadap merkuri. Begitu dapat MMR, ia berhenti ngoceh."

Curiga, Kristina langsung ke dokter. Waktu itu Kristina belum yakin Arya punya kelainan. "Saya cari di internet. Tapi, makin ke sini, kok, makin aneh. Ia selalu menghindari keramaian, takut suara bising. Saya bawa tes terapi wicara. Dicurigai autisma, tapi IQ-nya di atas rata-rata. Ini membuat saya agak tenang karena bukan jenis yang retarded." Ketika di-EEG, gambaran gelombang otaknya memang sangat tidak normal.

Setelah itu, Kristina bertemu dr. Melly Budhiman."Kami juga dikonsul. Kami bilang, tidak akan melihat ke belakang, tapi akan melihat ke depan. Kebanyakan orang tua tidak mau menerima kenyataan anaknya autis. Saya memang syok, tapi saya pikir, pasti ada pemecahannya. Sembuh mungkin tidak, tapi membaik bisa.

Saya tidak mau mencari penyebabnya, tidak mau menoleh ke belakang." Apalagi, sang suami, Ir. Sigit Sumaryanto, waktu itu baru kena PHK. "Daripada uang habis untuk mencari penyebabnya, mendingan buat invest, buat terapi dan masa depan dia," lanjut Kristina panjang lebar.

Setelah terapi di kelas, Kristina mulai memodifikasi sendiri terapi di rumah. "Menangani anak seperti ini harus dengan manajemen. Semua anggota keluarga adalah terapis.

Kebetulan kakaknya kuliah psikologi, jadi membantu. Di sekolah, teman-teman dan orangtua murid lain saya minta ikhlas menerima kondisi Arya dan membantu. Jadi, saya merasa tidak harus selalu hadir di samping dia."

Tempat terapi bisa di mana saja. "Ia takut keramaian, kami bawa ia ke mal dari sebelum buka sampai mal dalam keadaan ramai. Lama-lama ia terbiasa. Ia takut air, kami ajak ia 2 minggu sekali ke Anyer. Ia selalu bilang, air akan menjatuhi dirinya. Kalau di kamar mandi, ia selalu menjerit-jerit."

Lantas, kenapa Arya terobsesi kereta api? "Sejak kecil, memang. Rumah eyangnya di Yogya kebetulan dekat dengan depo KA. Nah, waktu kecil ia suka diajak pulang ayahnya," kata Kristina. Meski terobsesi KA, ternyata Arya tidak suka naik KA. "Kalau di kereta, ia gelisah. Begitu sampai di stasiun, ia langsung turun untuk melihat KA-nya. Ia lebih suka berada di luar KA karena ia bisa melihat sosok KA-nya," kata Kristina yang hampir setiap tahun mengajak Arya ke Museum KA di Ambawara.

Arya juga tak menyukai mainan KA. Ia lebih suka buku tentang KA. "Ia juga langgganan majalah KA. Belakangan, ia suka mengomentari kebijakan PT KAI," kata Kristina. Ketika ditanya cita-citanya, Arya tegas menjawab, "Pengin mengabdikan diri di KAI."

Hasto Prianggoro

Foto: Daniel Supriyono/Nova

Tidak ada komentar: