environment

environment

Gg1

Jumat, 15 Juli 2011

Sekolah untuk Apa? - Rhenald Kasali

Sekolah untuk Apa? - Rhenald Kasali

Beberapa hari ini kita membaca berita betapa sulitnya anak-anak mencari
> sekolah.Masuk universitas pilihan susahnya setengah mati. Kalaupun
> diterima, bak lolos dari lubang jarum. Sudah masuk ternyata banyak yang
> "salah kamar".
>
> Sudah sering saya mengajak dialog mahasiswa yang bermasalah dalam
> perkuliahan, yang begitu digali selalu mengatakan mereka masuk jurusan
> yang salah. Demikianlah, diterima di perguruan tinggi negeri (PTN)
> masalah, tidak diterima juga masalah. Kalau ada uang bisa kuliah di mana
> saja.
>
> Bagaimana kalau uang tak ada? Hampir semua orang ingin menjadi sarjana,
> bahkan masuk program S-2. Jadi birokrat atau jenderal pun sekarang
> banyak yang ingin punya gelar S- 3. Persoalan seperti itu saya hadapi
> waktu lulus SMA, 30 tahun lalu, dan ternyata masih menjadi masalah hari
> ini.
>
> Sekarang, memilih SMP dan SMA pun sama sulitnya. Mengapa hanya soal
> memindahkan anak ke sekolah negeri lain saja lantaran pindah rumah
> biayanya begitu besar? Padahal bangku sekolah masih banyak yang kosong.
> Masuk sekolah susah, pindah juga sulit, diterima di perguruan tinggi
> untung-untungan, cari kerja susahnya minta ampun.
>
> Lengkap sudah masalah kita. Kalau kita sepakat sekolah adalah jembatan
> untuk mengangkat kesejahteraan dan daya saing bangsa, mengapa dibuat
> sulit? Lantas apa yang harus dilakukan orang tua? Jadi sekolah untuk apa
> di negeri yang serbasulit ini?
>
> *Kesadaran Membangun SDM*
>
> Lebih dari 25 tahun yang lalu, saat berkuasa, Perdana Menteri (PM)
> Malaysia Mahathir Mohamad sadar betul pentingnya pembangunan sumber daya
> manusia (SDM). Dia pun mengirim puluhan ribu sarjana mengambil gelar S-2
> dan S-3 ke berbagai negara maju.
>
> Hal serupa juga dilakukan China. Tidak sampai 10 tahun,lulusan terbaik
> itu sudah siap mengisi perekonomian negara. Hasilnya Anda bisa lihat
> sekarang. BUMN di negara itu dipimpin orang-orang hebat, demikian pula
> perusahaan swasta dan birokrasinya. Perubahan bukan hanya sampai di situ.
>
> Orang-orang muda yang kembali ke negerinya secara masif me-reform sistem
> pendidikan. Tradisi lama yang terlalu kognitif dibongkar. Old ways
> teaching yang terlalu berpusat pada guru dan papan tulis,serta peran
> brain memory (hafalan dan rumus) yang dominan mulai ditinggalkan.
>
> Mereka membongkar kurikulum, memperbaiki metode pengajaran, dan
> seterusnya.Tak mengherankan kalau sekolahsekolah di berbagai belahan
> dunia pun mulai berubah. Di negeri Belanda saya sempat
> terbengong-bengong menyaksikan bagaimana universitas seterkenal Erasmus
> begitu mudah menerima mahasiswa.
>
> "Semua warga negara punya hak untuk mendapat pendidikan yang layak, jadi
> mereka yang mendaftar harus kami terima," ujar seorang dekan di Erasmus.
> Beda benar dengan universitas negeri kita yang diberi privilege untuk
> mencari dan mendapatkan lulusan SLTA yang terbaik.
>
> Seleksinya sangat ketat. Lantas bagaimana membangun bangsa dari lulusan
> yang asal masuk ini? "Mudah saja," ujar dekan itu. "Kita potong di tahun
> kedua. Masuk tahun kedua, angka drop out tinggi sekali. Di sinilah kita
> baru bicara kualitas, sebab walaupun semua orang bicara hak, soal
> kemampuan dan minat bisa membuat masa depan berbeda,"ujarnya.
>
> Hal senada juga saya saksikan hari-hari ini di Selandia Baru. Meski
> murid-murid yang kuliah sudah dipersiapkan sejak di tingkat SLTA, angka
> drop out mahasiswa tahun pertama cukup tinggi.Mereka pindah ke
> politeknik yang hanya butuh satu tahun kuliah. Yang lebih mengejutkan
> saya adalah saat memindahkan anak bersekolah di tingkat SLTA di Selandia
> Baru.
>
> Sekolah yang kami tuju tentu saja sekolah yang terbaik, masuk dalam 10
> besar nasional dengan fasilitas dan guru yang baik. Saya menghabiskan
> waktu beberapa hari untuk mewawancarai lulusan sekolah itu
> masing-masing, ikut tour keliling sekolah, menanyakan kurikulum dan
> mengintip bagaimana pelajaran diajarkan.
>
> Di luar dugaan saya,pindah sekolah ke sini pun ternyata begitu mudah.
> Sudah lama saya gelisah dengan metode pembelajaran di sekolah-sekolah
> kita yang terlalu kognitif, dengan guruguru yang merasa hebat kalau
> muridnya bisa dapat nilai ratarata di atas 80 (betapapun stresnya
> mereka) dan sebaliknya memandang rendah terhadap murid aktif, namun tak
> menguasai semua subjek.
>
> Potensi anak hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan
> mengopi isi buku dan catatan. Entah di mana keguruan itu muncul kalau
> sekolah tak mengajarkan critical thinking. Kita mengkritik lulusan yang
> biasa membebek, tapi tak berhenti menciptakan bebek-bebek dogmatik.
>
> Kalau lulusannya mudah diterima di sekolah yang baik di luar
> negeri,mungkin guruguru kita akan menganggap sekolahnya begitu bagus.
> Mohon maaf, ternyata tidak demikian. Jangankan dibaca, diminta transkrip
> nilainya pun tidak. Maka jangan heran, anak dari daerah terpencil pun di
> Indonesia, bisa dengan mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri.
>
> Bahkan tanpa tes. Apa yang membuat demikian? "Undang-undang menjamin
> semua orang punya hak yang sama untuk belajar," ujar seorang guru di
> Selandia Baru. Lantas, bukankah kualitas lulusan ditentukan input-nya?
> "Itu ada benarnya, tapi bukan segala-galanya," ujar putra sulung saya
> yang kuliah di Auckland University tahun ketiga.
>
> Maksudnya,tes masuk tetap ada,tetapi hanya dipakai untuk penempatan dan
> kualifikasi. Di tingkat SLTA, mereka hanya diwajibkan mengambil dua mata
> pelajaran wajib (compulsory) yaitu Matematika dan Bahasa Inggris. Pada
> dua mata pelajaran ini pun mereka punya tiga kategori: akselerasi,
> rata-rata, dan yang masih butuh bimbingan.
>
> Sekolah dilarang hanya menerima anakanak bernilai akademik tinggi karena
> dapat menimbulkan guncangan karakter pada masa depan anak, khususnya
> sifat-sifat superioritas, arogansi, dan kurang empati. Mereka hanya
> super di kedua kelas itu, di kelas lain mereka berbaur.
>
> Dan belum tentu superior di kelas lain karena pengajaran tidak hanya
> diberikan secara kognitif. Selebihnya, hanya ada empat mata pelajaran
> pilihan lain yang disesuaikan dengan tujuan masa depan masingmasing.
> Bagi mereka yang bercita- cita menjadi dokter, biologi dan ilmu kimia
> wajib dikuasai.
>
> Bagi yang akan menjadi insinyur wajib menguasai fisika dan kimia.
> Sedangkan bagi yang ingin menjadi ekonom wajib mendalami accounting,
> statistik,dan ekonomi. Anak-anak yang ingin menjadi ekonom tak perlu
> belajar biologi dan fisika. Beda benar dengan anak-anak kita yang harus
> mengambil 16 mata pelajaran di tingkat SLTA di sini, dan semuanya
> diwajibkan lulus di atas kriteria ketuntasan minimal (KKM).
>
> Bayangkan, bukankah citacita pembuat kurikulum itu orangnya hebat
> sekali? Mungkin dia manusia super.Seorang lulusan SLTA tahun pertama
> harus menguasai empat bidang sains (biologi,ilmu kimia, fisika, dan
> matematika), lalu tiga bahasa (Bahasa Indonesia, Inggris, dan satu
> bahasa lain), ditambah PPKN, sejarah, sosiologi, ekonomi, agama,
> geografi, kesenian, olahraga, dan komputer.
>
> Hebat sekali bukan? Tidak mengherankan kalau sekolah menjadi sangat
> menakutkan, stressful, banyak korban kesurupan, terbiasa mencontek, dan
> sebagainya. Harus diakui kurikulum SLTA kita sangat berat. Seperti
> kurikulum program S-1 20 tahun lalu yang sejajar dengan program S-1 yang
> digabung hingga S-3 di Amerika.
>
> Setelah direformasi, kini anak-anak kita bisa lulus sarjana tiga tahun.
> Padahal dulu butuh lima tahun. Dulu program doktor menyelesaikan di atas
> 100 SKS, sehingga hampir tak ada yang lulus. Kini seseorang bisa lulus
> doktor dalam tiga tahun. Anda bisa saja mengatakan, dulu kita juga
> demikian, tapi tak ada masalah kok!
>
> Di mana masalahnya? Masalahnya, saat ini banyak hal telah berubah.
> Teknologi telah mengubah banyak hal, anakanak kita dikepung informasi
> yang lebih bersifat pendalaman dan banyak pilihan, tapi datang dengan
> lebih menyenangkan. Belajar bukan hanya dari guru, melainkan dari segala
> resources.
>
> Ilmu belajar menjadi lebih penting dari apa yang dipelajari itu
> sendiri,sehingga diperlukan lebih dari seorang pengajar, yaitu pendidik.
> Guru tak bisa lagi memberikan semua isi buku untuk dihafalkan, tetapi
> guru dituntut memberikan bagaimana hidup tanpa guru, lifelong learning.
>
> Saya saksikan metode belajar telah jauh berubah. Seorang guru di West
> Lake Boys School di Auckland mengatakan, "Kami sudah meninggalkan old
> ways teaching sejak 10 tahun lalu. Maka itu, sekolah sekarang harus
> memberikan lebih banyak pilihan daripada paksaan. Percuma memberi banyak
> pengetahuan kalau tak bisa dikunyah. Guru kami ubah,metode
> diperbarui,fasilitas baru dibangun," ujar seorang guru.
>
> Masih banyak yang ingin saya diskusikan,tapi sampai di sini ada baiknya
> kita berefleksi sejenak. Untuk apa kita menciptakan sekolah dan untuk
> apa kita bersekolah? Mudahmudahan kita bisa mendiskusikan lebih dalam
> minggu depan dan semoga anak-anak kita mendapatkan masa depan yang lebih
> baik.? RHENALD KASALI Ketua Program MM UI
>
> (Sumber:
> http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/411134/34/

Tidak ada komentar: