Kamis, 08 Juli 2010
Vertikultur, Solusi Bertani di Lahan Sempit
Vertikultur, Solusi Bertani di Lahan Sempit
Dengan cara bertanam berjenjang (verticulture) bukan halangan petani untuk bercocok tanam.
Rabu, 7 Juli 2010, 14:19 WIB
Amril Amarullah
IR HM. SUHADI dengan tanaman bawang merah yang ditanam berjenjang (Ikhsan Mahmudi | Surabaya Post)
http://jatim.vivanews.com/news/read/162902-vertikultur--solusi-bertani-di-lahan-sempit
SURABAYA POST - Sempitnya lahan pertanian sering menjadi alasan petani enggan bercocok tanam. Padahal dengan cara bertanam berjenjang (verticulture) seperti yang dilakukan Suhadi, pengusaha agrobinis dan petani di Kota Pasuruan, lahan terbatas bukan halangan bertani.
“Terus terang saya bukan penemu cara bercocok tanam model vertikultur. Saya hanya ingin memperkenalkan vertikultur dan mengajak masyarakat di kota untuk gemar bercocok tanam walaupun di lahan sempit di halaman rumah,” ujar Suhadi ditemui di Tegalbero Camp miliknya di Tegalbero, Kel. Wirogunan, Kota Pasuruan.
Tegalbero Camp merupakan model pertanian terpadu yang mewadahi perkebunan, pertanian, perikanan, dan peternakan (buntaninak). Melalui Lembaga Pengembangan Kewirausahaan (LPK), Suhadi menggarap lahan Tegalbero Camp seluas sekitar 2,5 hektare, yang terletak sekitar 1 km di pinggiran Kota Pasuruan.
“Saya ingin Tegalbero Camp ini menjadi model pertanian terpadu yang bisa diikuti warga kota termasuk bagaimana cara bertanam di lahan sempit dengan vertikultur,” ujar alumnus jurusan agronomi, Fakultas Pertanian (FP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu.
Suhadi mengakui, sejumlah petani bergidik menyaksikan model pertanian vertikultur. “Dikira biayanya mahal, padahal sebenarnya murah karena media tanam bisa dipakai berkali-kali panen,” ujarnya.
Suhadi bersama sejumlah petani mencoba bertanam ala vertikultur di bawah naungan rumah kaca (green house) sederhana. Green house berukuran 10 x 10 meter persegi itu ditutup dengan kelambu plastik warna hitam.
Di dalamnya terdapat 300 tonggak dari batang paralon setinggi masing-masing 2 meter. “Satu lonjor paralon PVC ukuran talang rumah panjangnya 4 meter dipotong jadi dua bagian,” ujar mantan aktivis mahasiswa itu.
Sebatang tonggak (paralon) itu kemudian dilubangi menjadi 120 lubang dengan ukuran diameter 10 cm. Dari sini mulai diketahui biaya awal yakni, sebatan paralon (4 meter) sekitar Rp 35 ribu. “Yang jelas harga satu tonggak plus biaya melubanginya sekitar Rp 20 ribu,” ujarnya.
Setelah itu patok-patok itu diisi dengan media tanam berupa campuran abu batu, arang batok kelapa, dan pupuk kandang. Di bagian tengah tonggak diisi paralon kecil seukuran 0,5 dim yang bersambung ke selang plastik seukuran selang infus.
“Air bercampur nutrisi atau pupuk kemudian dialirkan dalam tonggak melalui selang plastik yang biasa digunakan untuk akuarium itu,” ujarnya.
Prinsipnya, pengairan harus rutin dan merata menuju pangkal tanaman.
Menurut Suhadi, kondisi tanah harus berporos, tidak boleh padat mengeras.
Sejumlah jenis tanaman seperti bawang merah, tomat, lombok, hingga sawi bisa ditanam di lubang-lubang pada tonggak paralon. Sudah beberapa kali ia menanam tomat, lombok, dan bawang merah. “Saya bisa memanen bawang merah seberat 4 kilogram dalam satu tonggak,” ujarnya.
Dengan harga bawang merah sekitar Rp 15 ribu/kg, berarti satu tonggak menghasilkan Rp 60 ribu/tonggak. “Dengan biaya paralon Rp 20 ribu per tonggak ditambah biaya pupuk dan perawatan, pendapatan Rp 60 ribu per tonggak masih untung lumayan. Padahal saya menanam 300 tonggak,” ujarnya.
Suhadi mengakui, umbi bawang merah yang ditanam di paralon tidak sebesar kalau ditanam di tanah. Tetapi umbi bawang merah ala vertikultur itu lebih keras, bahkan saat kering pun tidak susut.
Sejumlah warga mulai tertarik mengikuti jejak Suhadi bertanam ala vertikultur. “ Ada prajurit Yon Zipur yang datang ke sini kemudian mencoba bertanam, demikian juga sejumlah warga,” ujarnya.
Memang ada sebagian warga yang datang langsung bergidik begitu mengetahui peralatan dan media tanam vertikultur. “Pipa paralon kan murah, bisa dipakai menanam berkali-kali. Untuk pengairan bisa menggunakan botol plastik air minum yang diletakkan di ketinggian, tanaman diperlakukan seperti pasien yang diinfus,” ujar Suhadi.
Suhadi pun mengaku banyak mempelajari vertikultur melalui internet, buku, dan majalah. “Di Jepang karena kesulitan lahan, vertikultur di atap gedung. Paralon pun bisa diganti kaleng cat tembok yang disusun ke atas,” ujarnya.
Bahkan ada warga yang nekat mengganti paralon dengan besek (plastik) untuk wadah berkat kenduri. “Ada juga pabrik rokok yang menggantikan paralon dengan plastik tipis, tentu saja gampang robek,” ujarnya.
Bertanam ala vertikultur pun memikat banyak pihak, paling tidak untuk mencoba. “Ada dinas yang meminjam tonggak paralon untuk pameran, ada Pramuka yang pinjam untuk lomba lalu jadi juara di tingkat propinsi,” ujar Suhadi. Anda berminat?
Laporan: Iksan Mahmudi | Surabaya Post
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
5 komentar:
bisa minta alamat lengkap dan nomor telfon anda gak pak? saya berminat dengan artikel anda. dan ingin belajar lebih lanjut. saya ingin belajar tentang budi daya tanaman pralon yang sedang bapak jalankan. sekian terima kasih.
pak IR HM. SUHADI saya mohon penjelasan tentang usaha budi daya tanaman dalam pralon yang saat ini bapak tekuni. apabila saya ingin belajar sama bapak atau saya ingin mengikuti pelatihan,apa ada persyaratan yang harus saya lakukan? mohon dibalas komentar saya/anda bisa membalas ke nomor saya 085727638628. trima kasih, dari saya nur kholis jepara, jateng
Bapak/Ibu yang user "kipli92" :
saya juga menemukan artikel itu vertikultur, solusi bertani dilahan sempit.
Bapak/Ibu coba browsing lagi di google, mungkin menemukan alamat Bapak itu.
Terima kasih.
dari Profit-000
Pak saya ingin mencoba seperti anda. Terimakasih anda telah menginspirasi saya
pak klw ada modul nya boleh di jual, sya berminat.thxb
Posting Komentar