Kisah Dua Anak Istimewa Berprestasi (1)
Jangan pustus asa punya anak autis. Asal penangannya benar, mereka bisa berprestasi.
OSHA, OBSESI SANG ARKEOLOG
Bola matanya langsung berbinar begitu diajak berbicara tentang candi atau peninggalan budaya lainnya. "Saya suka sejarah, suka mempelajari artefak," kata Natrio Catra Yososha atau Osha (18). Osha mulai tertarik bidang sejarah sejak kelas 4 SD. "Waktu itu diajak Bapak liburan ke Yogya, ke candi Borobudur, ke Kraton Yogyakarta," kata Osha.
Sekilas, tak ada yang membedakan Osha dengan remaja seusianya. Yang tak diketahui orang, Osha adalah anak dengan autis. Hebatnya, Osha berhasil lolos tes masuk UGM dan diterima sebagai mahasiswa Jurusan Arkeologi UGM tahun ajaran 2008/2009, jurusan yang sejak lama menjadi obsesinya.
Kini, giliran sang ibunda, Hernywati, yang bingung jika harus berpisah dengan Osha. "Rasanya campur aduk. Seneng, bangga, terharu, pasti iya, tapi juga panik. Jauhnya itu nanti bagaimana?" kata Hernywati yang tinggal di Bekasi. "Saya sih, penginnya kalau bisa yang deket-deket saja. Osha memang sudah mandiri, tapi ia tidak bisa membedakan mana orang yang mau memanfaatkan, mana yang tulus. Tapi, barangkali Tuhan punya rencana lain, ya?"
Osha memang memilih sendiri jurusan Arkeologi. "Dia yang ngotot ikut tes di UGM. Saya pikir, kalau diterima syukur, kalau enggak ya sudah. Eh, ternyata diterima," lanjut Hernywati. "Saya tahu persis, minatnya memang ke sejarah. Ia pernah bilang, ‘Wah, kalau dapet Arkeologi di Yogya asyik, nggak usah nunggu Bapak libur, aku jalan-jalan sendiri ke candi-candi.'" Kata Hernywati.
Sejak SD, nilai sejarah Osha juga terbilang bagus. Setiap liburan, museum pasti dikunjunginya. "Semua museum di Jakarta dia hapal. Makanya, kalau ulang tahun, nyari hadiahnya juga gampang. Beliin saja buku atau VCD tentang muiseum," kata Hernywati.
VIRUS CITOMEGALO
Wajar jika Hernywati gundah. Hampir 16 tahun ia melewati masa-masa sulit membesarkan Osha. Sejak Osha bayi, ibu 3 anak ini sudah merasa ada yang aneh dengan Osha. "Sejak bayi, minat sempitnya sudah kelihatan. Ia sangat suka segala hal yang berhubungan dengan agama Islam. Setiap dengar suara azan, dia langsung menghentikan semua aktivitasnya dan terdiam sampai azan selesai," kata Hernywati. Di usia 1,5 tahun, kalau berjalan atau berlari seperti kurang kendali. Sering membentur benda yang menghalangi jalan atau larinya.
Setelah mulai besar, Osha makin tertarik dengan ornamen-ornamen Islam, seperti mesjid, sajadah, dan huruf Arab. "Belum bisa omong, tapi seneng banget ngikutin ritual salat. Ia juga kolektor sajadah. Kalau saya ajak ketempat belanja, pasti ia minta dibelikan sajadah. Kalau tidak dibelikan, Osha bisa menangis. Ia juga lebih bisa membaca kaligrafi Al-Qur'an dibandingkan hurup atau angka latin. "
Saat itu, "Ngocehnya banyak, tapi nggak ada artinya. Nyanyinya benar, tapi nggak ada kata-kata yang jelas. Saya sudah curiga, tapi saya pikir barangkali perkembangannya memang lain. Kalau minta sesuatu juga selalu menarik tangan, bukan bilang. Saya pikir, apa dia bisu?"
Oleh dokter, disarankan observasi ke RSCM. "Hasilnya normal.
Malah daya dengarnya di atas orang normal. Berarti bukan karena tuli. Hasil pemeriksaan EEG-nya juga normal, hanya telat bicara. Saya bingung," lanjut Hernywati yang sempat mengalami konflik dengan suami, mertua, dan keluarga besar akibat kegelisahannya akan kondisi Osha. "Saya dianggap terlalu pencemas."
Osha kemudian dibawa ke dokter saraf. "Kata dokter, Osha pernah terinfeksi citomegalo virus sehingga ada kerusakan permanen di otaknya. Dokter bilang, jangan terlalu memaksakan sekolah. Kalau cuma mampu sampai SMP, ya sudah."
Saat itu, Hernywati belum bisa menerima kenyataan. "Saya masih terus nanya, kenapa itu bisa terjadi? Dokter kemudian nanya, apakah saya mau berjalan di tempat, sibuk mencari tahu penyebabnya, atau segera mencari jalan keluar. Akhirnya saya baru sadar, saya harus mencari tahu apa yang harus kulakukan untuk Osha," lanjut Hernywati yang kemudian meninggalkan semua kegiatannya dan fokus merawat Osha.
TITIK BALIK
Melalui berbagai halangan, termasuk ditolak di mana-mana, Osha akhirnya berhasil diterima di TK Bu Kasur. "Persoalan muncul begitu mau masuk SD. Lagi-lagi, nggak ada sekolah yang mau menerima," kata Hernywati. "Sampai akhirnya Allah mendengar doa saya dan mengulurkan tangan lewat Bapak Sudarmo, Kepala Sekolah SD Al Azhar 9 Kemang Pratama. Beliau menerima Osha di SD-nya." Dua tahun pertama di SD merupakan tahun-tahun berat buat Hernywati dan Osha. "Nyata sekali, perkembangannya jauh tertinggal dari teman-temannya. Hampir semua nilainya jeblok."
Titik balik muncul di tahun terakhir Osha di kelas 2 ketika Hernywati dipertemukan dengan 2 sosok yang punya andil besar pada perkembangan Osha. Mereka adalah Dr. Melly Budhiman yang mendiagnosa Osha sebagai anak dengan autis, dan kemudian memberikan obat untuk Osha, serta Ibu Ages, pedagog yang membantu sisi akademik Osha.
Sejak itu, perkembangan Osha mulai meningkat. "Setelah mendapat treatment yang tepat, pestasi akademiknya meningkat. Kelas 3 peringkatnya bagus. Kelas 5, ia mendapat piagam untuk Kliping Sejarah," lanjut Hernywati. Waktu SMP, Osha pernah duduk sebagai pengurus OSIS Seksi Kesenian. "Rankingnya juga selalu 10 besar." Bahkan, Osha baru saja lulus UAN dengan nilai rata-rata 8,2 dan mendapat piagam penghargaan untuk karya tulis IPS terbaik seangkatan dengan judul "Akulturasi Kebudayaan Hindu - Budha di Indonesia."
Kini, Osha sedang menyiapkan diri menghadapi tes masuk UI dengan mengikuti bimbingan belajar. "Jurusan yang diambil tetap Arkeologi den Sastra Jawa," kata Hernywati. "Tapi, sekarang ia juga punya minat baru, yakni berusaha mencari tahu, apa sih, autisme."
Hasto Prianggoro
Foto: Daniel Supriyono/ Nova(tabloid nova)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar